Di masa awal dakwah Nabi
Muhammad SAW tidak banyak yang mau mendengarkan ajaran Islam. Meskipun Nabi
memiliki gelar al-Amin (Orang terpercaya) dari kalangan Quraisy, tetapi ketika
Ia mengungkapkan hal yang asing di tengah-tengah masyarakat pagan yaitu tauhid,
maka apa pun yang dikatakan Nabi Muhammad saw. dianggap nyeleneh, mengada-ada,
bahkan Nabi sendiri dikatakan sebagai orang gila, penyihir dan lain lain.
Satu di antara orang yang paling pertama beriman kepada Rasulullah SAW adalah ‘Amir bin Abdullah bin al-Jarrah atau dikenal dengan nama Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Menurut catatan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat al-Kubra, Abu Ubaidah bersama lima sahabat lain (Ibnu Madz’un, Ubaidah bin Harits, Abdurrahman bin Auf, Abu Salamah bin Abdul Asad dan Abu Ubaidah) berangkat menemui Nabi untuk menyatakan keimanan mereka. Mereka inilah yang dikenal dengan sebutan as-Sabiqun al-Awwalun (orang-orang pertama yang masuk Islam).
Biografi Abu ubaidah bin Jarrah
Nama lengkapnya Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, namun lebih dikenal dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Wajahnya selalu berseri, matanya bersinar, ramah kepada semua orang, sehingga mereka simpati kepadanya. Di samping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu dan pemalu. Tapi bila menghadapi suatu urusan penting, ia sangat cekatan bagai singa jantan.
Para sahabat Nabi SAW
menggelarinya "Amin" (orang yang terpercaya). Nama lengkapnya adalah
Aamir ibnu Abdullah ibnu al-Jarrah. Namun ia lebih dikenal sebagai Abu Ubaidah.
Abdullah ibnu Umar menggambarkan sosok ini sebagai berikut:
"Ada tiga orang
terkemuka di Quraisy, mereka terkenal karena akhlaknya yang baik dan paling
bersahaja. Apabila mereka berbicara kepadamu, mereka tidak akan menipumu dan
apabila kamu berbicara kepada mereka, ia tidak akan menuduhmu berkata dusta.
Mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan dan Abu Ubaidah bin
Jarrah."
Abu Ubaidah termasuk golongan yang pertama kali memeluk Islam. Dia menjadi muslim sehari setelah Abu Bakar, bahkan melalui Abu Bakar lah ia menjadi seorang muslim. Saat itu Abu Bakar Ash-Shiddiq membawanya, bersama Abdur Rahman bin ‘Auf, Utsman bin Mas'un dan Arqam bin Abi Al-Arqam datang ke hadapan Rasulullah SAW, lalu bersama-sama mengucapkan syahadat. Mereka lah pilar-pilar awal dalam bangunan kokoh Islam kala itu.
Perang Badar yang Melibatkan Abu
Ubaidah bin Jarrah dengan Ayahnya
Sebagaimana muslim
lainnya, Abu Ubaidah juga mengalami masa yang sulit di Mekkah dalam periode
awal perkembangan Islam. Ia harus menelan hinaan dan menghadapi berbagai
kekerasan. Akan tetapi, setiap ujian dan kesulitan hidup yang ia alami justru
kian menguatkan imannya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, bahkan tatkala ia
harus menjalani salah satu ujian terberatnya, yaitu terlibat di Perang Badar.
Abu Ubaidah termasuk salah satu yang berada di barisan terdepan, bertempur dengan gagah berani, tak bergeming oleh ancaman kematian yang nyata di depan mata. Oleh karenanya, banyak pasukan Quraisy yang takut berhadapan langsung dengannya, kecuali satu orang yang senantiasa membuntuti dan mengejarnya kemana pun dia pergi. Ia lah satu-satunya yang Abu Ubaidah sendiri enggan berhadapan langsung dengannya. Namun kali itu, pertempuran dengan orang tersebut tak dapat dielakkan lagi. Keduanya kini berhadapan satu sama lain dan saling menghunuskan pedangnya. Tak ada pilihan lain bagi Abu Ubaidah di tengah kecamuk perang yang dahsyat tersebut kecuali menuntaskan pertempuran itu. Maka ia melancarkan serangan telak dan mematikan tepat di kepala orang tersebut sehingga tubuhnya jatuh ke tanah dan ia pun meninggal saat itu juga.
Jangan tanya siapa orang
yang Abu Ubaidah senantiasa enggan berhadapan dengannya itu. Sungguh, itu
adalah pengalaman terberat yang pernah dialami seorang insan, bahkan hampir tak
mungkin walaupun untuk sekadar dibayangkan. Pria yang tersungkur mati itu tak
lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah!
Sebagai seorang anak, tentu tidak pernah terbersit sedikit pun di kepala Abu Ubaidah untuk mengakhiri hidup ayah kandungnya sendiri. Akan tetapi, dalam sebuah perang kebenaran melawan kebatilan, pilihan yang ada baginya amatlah jelas, meski tak mudah untuk dijalani. Pada hakikat kehidupan yang lebih dalam, Abu Ubaidah tidaklah sedang memerankan seorang anak yang membunuh ayahnya, melainkan sebuah representasi dari kebenaran yang harus menumpas habis benih-benih kekafiran yang ada dalam diri ayahnya.
“Abu
Ubaidah tidaklah sedang memerankan seorang anak yang membunuh ayahnya,
melainkan sebuah representasi dari kebenaran yang harus menumpas habis
benih-benih kekafiran yang ada dalam diri ayahnya.”
Berkaitan dengan peristiwa
ini Allah Ta’ala menurunkan sebuah ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
َّ لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ
إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَـٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ
وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّـهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَـٰئِكَ حِزْبُ
اللَّـهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّـهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (Q.S. Al-Mujaadilah [58]: 22)
Sikap yang ditunjukkan Abu Ubaidah saat berhadapan dengan ayahnya itu sebenarnya tidaklah mengejutkan. Abu Ubaidah telah menerima kekuatan Cahaya Iman, keyakinan yang dalam akan jalan Allah dan perhatian yang tinggi dalam membangun umat Nabi yang sangat dicintainya – Muhammad SAW.
Menjadi Hakim Bagi Kaum Nasrani
Muhammad bin Ja’far,
salah seorang sahabat Rasulullah, mengisahkan bahwa suatu ketika sebuah
delegasi yang terdiri dari orang-orang Nasrani datang menghadap Rasulullah dan
berkata, “Wahai Abu Qasim, utuslah salah satu orang kepercayaanmu kepada kami,
seseorang yang engkau senangi, dan dapat menjadi hakim bagi beberapa perkara
kepemilikan yang menimbulkan perseteruan di antara kami. Sungguh kami sangat
menyegani orang-orang Muslim.”
“Baik, kembalilah kepadaku nanti malam,” jawab Nabi, “aku akan utus
kepadamu seorang yang kuat dan dapat diandalkan.”
Umar bin Khattab mendengarnya, lalu mengisahkan, “Aku berangkat lebih awal untuk Shalat Dzuhur berjamaah dengan harapan aku lah orang yang Rasulullah maksudkan itu. Manakala Rasulullah selesai shalat, ia pun mulai menyapu pandangannya ke kiri dan kanan, dan aku pun bangkit dengan maksud agar Rasulullah dapat melihatku. Namun Beliau terus menyebar pandangannya hingga ia menemukan Abu Ubaidah bin Jarrah. Maka Rasulullah pun memanggilnya, 'Pergilah bersama mereka (orang-orang Nasrani) dan berilah keputusan dengan kebenaran mengenai apa-apa yang mereka perselisihkan.' Ternyata, Abu Ubaidah lah yang mendapatkan tugas mulia tersebut."
Kekuatan seorang Abu Ubaidah
Abu Ubaidah tidak hanya
menjadi orang yang terpercaya. Kekuatan mental dan fisiknya kerap kali teruji
di berbagai kesempatan.
Salah satunya adalah
pada saat Perang Uhud, di mana Kaum Muslim mengalami kekalahan. Kala itu kaum
musyrik telah sedemikian rupa menguasai medan peperangan dan mulai berteriak,
“Di mana Muhammad! Di mana Muhammad!” Suasana sangat mencekam dan Abu Ubaidah
merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang secara suka rela menjadi pagar
hidup demi melindungi Rasulullah dari serangan tombak kaum musyrik.
Ketika perang telah
berakhir, Rasulullah mengalami luka parah berupa gigi geraham yang patah, luka
pukulan yang dalam di dahinya serta dua pecahan logam yang berasal dari
perisainya yang menancap dalam di pipinya. Abu Bakar mendekati Rasulullah
dengan maksud hendak mencabut pecahan-pecahan perisai tersebut, namun Abu
Ubaidah mencegahnya seraya berkata, “Izinkan aku yang melakukannya.”
Abu Ubaidah khawatir apabila ia mencabut kepingan logam tajam itu dengan tangannya maka akan mengakibatkan rasa sakit bagi Rasulullah, lantaran sulit menggenggam kepingan logam yang licin itu. Maka digigitnya lah kuat-kuat kepingan logam yang menonjol keluar itu dan manakala logam itu berhasil dikeluarkan, salah satu gigi depannya ternyata patah dibuatnya. Dengan gigi depan yang masih tersisa, Abu Ubaidah mencoba mencabut pecahan logam lainnya yang masih menancap di pipi Rasulullah dan upaya itu pun kembali membuat giginya yang lain patah. Karena peristiwa itu, Abu Bakar berkata, “Abu Ubaidah adalah orang paling mahir dalam mematahkan gigi!”
Wafatnya Abu Ubaidah bin Jaffar
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih pengganti beliau yang bertugas sebagai khalifah. Pertemuan tersebut terjadi di Saqifah (tempat pertemuan) Bani Sa’idah dan hari itu tercatat sebagai salah satu momen bersejarah yang dikenal sebagai “Peristiwa Saqifah”.
Pada hari itu, Umar bin Khattab berkata kepada Abu Ubaidah,
“Rentangkan
tanganmu dan aku akan bersumpah menaatimu karena aku telah mendengar Rasulullah
bersabda, ‘Setiap umat memiliki seorang amin (penjaga) dan engkau adalah sang amin bagi umat ini.’”
“Aku
tidak mau,” tukas Abu Ubaidah, “aku menolak mendahului seorang yang telah
ditunjuk oleh Rasulullah untuk menjadi pengganti beliau menjadi imam sholat
hingga detik Rasulullah berpulang ke hadirat-Nya.”
Maka ia pun memberikan sumpah
setianya (bai’at) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Ubaidah tetap menjadi salah
satu penasihat terdekat Abu Bakar dan pendukung kuatnya dalam kebenaran dan
kebaikan. Hingga kepemimpinan berganti ke tangan Umar bin Khattab, Abu Ubaidah
tetap meneruskan dukungannya kepada khalifah dan tak pernah menentang Umar
kecuali pada suatu waktu.
Peristiwa itu terjadi
tatkala Abu Ubaidah memimpin pasukan Muslim dan meraih kemenangan di Syria. Ia
berdiri di sebuah daerah di mana sungai Eufrat berada di sebelah kanannya dan
dataran Asia Kecil di sebelah kirinya. Saat itu tengah terjadi wabah besar di
tanah Syria, suatu musibah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan telah
merenggut banyak korban jiwa. Menyadari gentingnya keadaan kala itu, Khalifah
Umar mengutus seseorang kepada Abu Ubaidah dengan membawa surat yang
bertuliskan pesan dari Khalifah:
“Wahai
Abu Ubaidah, aku sangat membutuhkanmu. Apabila engkau menerima surat ini di
malam hari, kusarankan engkau berangkat sebelum fajar. Apabila engkau
menerimanya di siang hari, berangkatlah sebelum matahari terbenam dan cepatlah
kembali kepadaku!”
Ketika Abu Ubaidah
selesai membaca pesan itu, ia berkata, “Aku tahu Amirul Mukminin memerlukanku.
Ia ingin menyelamatkan nyawa seseorang, yang bagaimana pun tak akan abadi.”
Maka ia menulis surat jawaban kepada Umar:
“Wahai
Umar, aku tahu bahwa engkau membutuhkanku. Namun aku berada di antara pasukan
Kaum Muslim dan tidak ada keinginanku untuk menyelamatkan diri dan meninggalkan
mereka di sini. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka hingga Tuhan memutuskan
yang lain. Maka saat engkau menerima surat ini, mohon bebaskan aku dari
perintahmu dan izinkan aku untuk tinggal bersama pasukanku.”
Saat Umar membaca surat
balasan Abu Ubaidah tersebut air mata memenuhi sudut-sudut matanya hingga
orang-orang yang berada di dekatnya bertanya, “Apakah Abu Ubaidah telah tiada,
wahai Amirul Mukminin?”
“Tidak,”
jawab Umar, “akan tetapi kematian tengah datang mendekatinya.”
Tidak berapa lama,
penglihatan Umar menjadi kenyataan. Dalam kondisi dilanda penyakit dan
mendekati sakaratul maut, Abu Ubaidah menyampaikan wasiat kepada pasukannya:
“Dirikanlah
shalat, shaum lah di bulan Ramadhan, keluarkan shodaqoh, laksanakanlah haji dan
umrah. Tetaplah bersatu dan saling mendukung satu sama lain. Jujurlah kepada
pimpinanmu dan jangan menyembunyikan apapun dari mereka. Jangan sampai dunia
dan segala isinya menghancurkanmu dari jalan Allah karena kalaupun seseorang
hidup seribu tahun lamanya, ia akan tetap menjelang kematian seperti yang
tengah engkau saksikan terjadi kepadaku saat ini. Wassalaamu’alaikum wa
rahmatullah.”
Abu Ubaidah kemudian berpaling kepada Mu’adz bin Jabal dan berkata, “Wahai Mu’adz, pimpinlah kami dalam sholat.” Dalam sholat itu, jiwanya pun mangkat
Itulah tadi sebuah Artikel mengenai Biografi Abu Ubaidah bin Jaffar dalam semasa hidupnya, semoga kita bisa mengambil hikmah dari sebuah artikel ini, mohon maaf jika ada kesalahn kata.
TERIMAH KASIH TELAH MEMBACA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa untuk memberikan komentar anda tentang Blog ini, agar Blog ini bisa dibuat lebih baik lagi, Terimah Kasih